Sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa Indonesia adalah salah satu negara pembajak terbesar di dunia. Hal ini termasuk praktek pirasi pada piranti lunak (software) komputer, musik, dan video games. Pirasi, seperti kita ketahui bersama, adalah sebuah tindak melipat gandakan media (dalam hal ini, kita bicara tentang piranti lunak) untuk diperjual belikan kembali. Jadi, orang dapat memperoleh media hasil pirasi dengan harga yang “jauh” lebih murah (baca: berstatus ilegal).

Kenapa ilegal? Jawabannya dapat Anda temukan di bungkus setiap produk (asli) yang mencantumkan pernyataan “DILARANG KERAS MEMPERBANYAK ATAU MELIPAT GANDAKAN PRODUK INI TANPA SEIJIN PRODUSEN,” Artinya, kita harus meminta ijin terlebih dahulu guna memperoleh status legal dari produsen. Jika tidak? Tentu saja ilegal, dan inilah yang dilakukan pembajak di Indonesia.

Lalu, kenapa “jauh lebih murah?” Sederhana saja, karena para pembajak tak harus membayar biaya produksi, pengepakan, lisensi, serta distribusi produk-produk tersebut.

Kali ini, kita akan membicarakan tentang praktek pirasi dalam pasar video games di Indonesia. Namun, kita tak akan bicara mengenai peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, karena memang peraturan tersebut -yang mengatur soal peredaran video games di Indonesia- nyaris tidak ada.

Kita akan lebih fokus pada pengenalan produk, mana yang asli mana yang pirasi, yang kiranya dapat memberikan pengetahuan bagi kita semua tentang dampak penggunaan produk-produk tersebut.

Anda tentu sudah tak asing lagi dengan mesin game (konsol) PlayStation (PS), bahkan mungkin Anda juga salah satu konsumen alat hiburan besutan Sony ini. Jika demikian, penulis yakin bahwa Anda telah akrab dengan label harga Rp. 3.500 s/d Rp. 5.000 yang dibanderol penjual game PS untuk setiap CD game yang diperjual belikan. Begitu murahnya, hingga membuat seorang kolektor game dapat mengoleksi lebih dari 50 judul game setiap bulan.

Namun, sadarkah Anda berapa sebenarnya harga asli dari game yang Anda beli? Jika jawabannya “Ya,” sudah barang tentu Anda akan berpikir dua kali untuk memborong game PS, karena harganya bisa mencapai setengah dari nilai yang ditentukan untuk Upah Minimum Regional (UMR) seorang pegawai negeri. Dengan kata lain, penjual game akan rugi besar bila mereka menjual game asli, karena daya beli masyarakat Indonesia yang belum memungkinkan untuk menempatkan pembelian game PS sebagai kebutuhan primer, dan membuat orang Indonesia berjejal-jejal di toko game untuk memborong game asli.

Sebagai hasilnya, saat ini, dimanapun Anda berada, Anda akan dengan mudahnya menemukan game PS. Mulai dari mall, toko kelontong, bahkan pasar buah yang kumuh sekalipun, Anda masih tetap dapat menemukan toko yang menjual CD game PS.

Lalu, Anda akan berkata sambil tersenyum, “Asyik, jadi bisa beli banyak game! Murah harganya! Untung besar dong!” Para pengecer CD game pun bakal setuju dengan pernyataan tersebut. Namun, marilah kita lihat dampak yang diakibatkan oleh tindak pirasi ini, yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita…

Pihak pertama yang dirugikan atas tindakan ini, tentu saja adalah produsen game. Bayangkan, jika produsen dapat memasarkan 10 game seharga $50 di negerinya, berbanding dengan penjualan di Indonesia, maka akan didapati perbedaan yang besar sekali. Boleh jadi kita hanya membeli 1 game asli (untuk digandakan), dan selebihnya, produk yang telah digandakan dan dijual kembali kepada masyarakat umum, uangnya murni mengalir ke kantong penjual, bukan produsen.

Kerugian yang diderita produsen terlihat disini. Jika dari 10 game tersebut, yang 9 ilegal (tidak sampai $1), maka produsen hanya memperoleh keuntungan sebesar $50 saja. Bandingkan jika kesepuluh game tersebut asli dan dibeli dengan harga yang sama, $50.

OK, anggaplah kita semua patuh pada hukum, setuju bahwa peredaran game PS tersebut ilegal, dan bersedia membeli CD game PS yang asli. Jika itu adalah Anda, maka Anda adalah pihak kedua yang dirugikan. Mengapa demikian?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan menjelaskan beberapa perbedaan antara CD game asli dan pirasi berdasarkan pengalaman penulis yang telah mengkonsumsi kedua produk tersebut.

Biasanya, sebuah game diluncurkan dalam paket eksklusif. Pembungkusnya terbuat dari bahan yang baik, sampulnya pun dicetak artistik, memiliki kardus penyegel, serta jaminan keaslian yang tertera pada pembungkusnya, yang akan melindungi Anda jika Anda mengacungkan produk tersebut ke muka aparat penegak hukum.

Media yang ada di dalamnya, sudah tidak perlu diragukan lagi, tentu terbuat dari bahan pilihan yang telah melalui proses pengujian. Selain itu, biasanya produsen menyertakan manual, baik buku ataupun liflet, atau bonus-bonus tambahan seperti CD musik atau aksesoris yang dapat Anda koleksi.

Sekarang, bandingkan dengan ratusan CD yang dijual bebas di Indonesia. Tak jarang CD-CD itu hanya dibungkus plastik (baca: usang dan berdebu), cetakan sampulnya pudar karena dicetak dengan tinta murahan, dan tentu saja tak ada jaminan keaslian, yang akan membuat Anda menyembunyikan CD tersebut di dalam celana jika ada patroli satuan penegak hukum.

Lalu, bagaimana dengan medianya? Perlu diketahui bahwa bahan CD yang dipakai terbuat dari biji plastik murahan (mungkin media hanya seharga 1000 rupiah) dan diproduksi dengan alat pengganda masal (1 CD asli yang isinya dapat langsung dikopi ke 1000 CD kosong).

Anda juga harus mempelajari sendiri bagaimana cara memainkan game yang Anda beli, karena tak ada satu pun buku manual yang disertakan. Plus, Anda akan kehilangan bonus eksklusif apabila game yang Anda beli itu sebenarnya menyertakan bonus tambahan.

Efek lain yang ditimbulkan akibat penggunaan CD game bajakan adalah menurunnya kualitas gambar dan suara dari game yang Anda beli (sudah barang tentu, bukan begitu?). Secara logis, hal ini dapat kita buktikan dengan perumpamaan VCD/DVD asli yang dibajak. Anda akan melihat perbedaan antara barang asli dan tiruannya, meskipun di era DVD hal ini agak sulit diidentifikasi.

Bicara soal ketahanan media, tentu Anda sudah dapat membayangkan dengan sendirinya. Jika CD bajakan tergores sedikit saja, biasanya akan menimbulkan masalah macet-macet saat memainkannya. Selain itu, jika tidak dirawat dengan baik, medianya akan dijalari jamur dan cepat rusak.

Yang terakhir, tanpa kita sadari, kepingan-kepingan disc bajakan tersebut secara perlahan-lahan akan menggerogoti konsol. Memang efek dari kerusakan yang ditimbulkan oleh disc bajakan tak akan segera terlihat, namun jika kita menunggu sekitar satu atau dua tahun, penulis yakin – dalam kurun waktu tersebut — Anda akan mengunjungi toko-toko konsol untuk service.

Jenis kerusakannya pun bermacam-macam, mulai dari macetnya mata optic, proses “loading” yang kelewat lama, atau bunyi “ngikngikngik” yang mengganggu. Jadi, bersiaplah dengan kocek Anda, karena hasil service pun biasanya tak akan bertahan lama.

Kesimpulan: Semua Terserah Anda

Berdasarkan uraian dan sedikit contoh di atas, penulis menyerahkan pilihan kepada Anda. Apakah praktek pirasi di Indonesia (khususnya) adalah hal yang baik atau sebaliknya. Dengan demikian, diharapkan penggemar game di Indonesia tak perlu lagi pusing memikirkan undang-undang atau peraturan, karena batas-batas konsumsi game asli dan pirasi berpulang pada diri masing-masing.

Jika Anda seorang gamer sejati yang punya banyak duit, mengapa harus takut mengimpor game-game asli? Disamping menjadi sebuah kebanggaan, dijamin peralatan game Anda akan panjang umur! Hanya saja, koleksi Anda tak akan sebanyak mereka yang membeli game versi pirasi.

Untuk konsumen selain yang telah penulis sebutkan di atas, pun tak jadi masalah. Yang terpenting adalah bagaimana kita merawat game-game serta konsol tersebut agar tetap nyaman dan panjang umur.

Yang jadi pertanyaan adalah; Apakah Anda siap bila pemerintah berkenan melisensi game asli dan menjualnya di Indonesia? Kita tunggu saja sampai tiba saatnya pemerintah “peduli” dan menurunkan peraturan tersebut!

Penulis, Eko Ramaditya Adikara (Rama), adalah seorang tuna-netra yang gemar menulis menggunakan komputer. Penulis tergabung dalam Yayasan Mitra Netra (MitraNetra.or.id). Blog pribadinya dapat dibaca di alamat www.ramaditya.com.